Minggu, 29 Agustus 2010

C a n d i

Kata "candi" mengacu pada berbagai macam bentuk dan fungsi bangunan, antara lain empat beribadah, pusat pengajaran agama, tempat menyimpan abu jenazah para raja, tempat pemujaan atau tempat bersemayam dewa, petirtaan (pemandian) dan gapura. Walaupun fungsinya bermacam-macam, secara umum fungsi candi tidak dapat dilepaskan dari kegiatan keagamaan, khususnya agama Hindu dan Buddha, pada masa yang lalu. Oleh karena itu, sejarah pembangunan candi sangat erat kaitannya dengan sejarah kerajaan-kerajaan dan perkembangan agama Hindu dan Buddha di Indonesia, sejak abad ke-5 sampai dengan abad ke-14.

Karena sjaran Hindu dan Buddha berasal dari negara India, maka bangunan candi banyak mendapat pengaruh India dalam berbagai aspeknya, seperti: teknik bangunan, gaya arsitektur, hiasan, dan sebagainya. Walaupun demikian, pengaruh kebudayaan dan kondisi alam setempat sangat kuat, sehingga arsitektur candi Indonesia mempunyai karakter tersendiri, baik dalam penggunaan bahan, teknik kontruksi maupun corak dekorasinya. Dinding candi biasanya diberi hiasan berupa relief yang mengandung ajaran atau cerita tertentu.

Dalam kitab Manasara disebutkan bahwa bentuk candi merupakan pengetahuan dasar seni bangunan gapura, yaitu bangunan yang berada pada jalan masuk ke atau keluar dari suatu tempat, lahan, atau wilayah. Gapura sendiri bisa berfungsi sebagai petunjuk batas wilayah atau sebagai pintu keluar masuk yang terletak pada dinding pembatas sebuah komplek bangunan tertentu. Gapura mempunyai fungsi penting dalam sebuah kompleks bangunan, sehingga gapura juga nencerminkan keagungan dari bangunan yang dibatasinya. Perbedaan kedua bangunan tersebut terletak pada ruangannya. Candi mempunyai ruangan yang tertutup, sedangkan ruangan dalam gapura merupakan lorong yang berfungsi sebagai jalan keluar-masuk.

Beberapa kitab keagamaan di India, misalnya Manasara dan Sipa Prakasa, memuat aturan pembuatan gapura yang dipegang teguh oleh para seniman bangunan di India. Para seniman pada masa itu percaya bahwa ketentuan yang tercantum dalam kitab-kitab keagamaan bersifat suci dan magis. Mereka yakin bahwa pembuatan bangunan yang benar dan indah mempunyai arti tersendiri bagi pembuatnya dan penguasa yang memerintahkan membangun. Bangunan yang dibuat secara benar dan indah akan mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat. Keyakinan tersebut membuat para seniman yang akan membuat gapura melakukan persiapan dan perencanaan yang matang, baik yang bersifat keagamaan maupun teknis.

Salah satu bagian terpenting dalam perencanaan teknis adalah pembuatan sketsa yang benar, karena dengan sketsa yang benar akan dihasilkan bangunan seperti yang diharapkan sang seniman. Pembuatan sketsa bangunan harus didasarkan pada aturan dan persyaratan tertentu, berkaitan dengan bentuk, ukuran, maupun tata letaknya. Apabila dalam pembuatan bangunan terjadi penyimpangan dari ketentuan-ketentuan dalam kitab keagamaan akan berakibat kesengsaraan besar bagi pembuatnya dan masyarakat di sekitarnya. Hal itu berarti bahwa ketentuan-ketentuan dalam kitab keagamaan tidak dapat diubah dengan semaunya. Namun, suatu kebudayaan, termasuk seni bangunan, tidak dapat lepas dari pengaruh keadaan alam dan budaya setempat, serta pengaruh waktu. Di samping itu, setiap seniman mempunyai imajinasi dan kreatifitas yang berbeda.

Sampai saat ini candi masih banyak didapati di berbagai wilayah Indonesia, terutama di Sumatra, Jawa, dan Bali. Walaupun sebagian besar di antaranya tinggal reruntuhan, namun tidak sedikit yang masih utuh dan bahkan masih digunakan untuk melaksanakan upacara keagamaan. Sebagai hasil budaya manusia, keindahan dan keanggunan bangunan candi memberikan gambaran mengenai kebesaran kerajaan-kerajaan pada masa lampau.

Candi-candi Hindu di Indonesia umumnya dibangun oleh para raja pada masa hidupnya. Arca dewa, seperti Dewa Wishnu, Dewa Brahma, Dewi Tara, Dewi Durga, yang ditempatkan dalam candi banyak yang dibuat sebagai perwujudan leluhurnya. Bahkan kadang-kadang sejarah raja yang bersangkutan dicantumkan dalam prasasti persembahan candi tersebut. Berbeda dengan candi-candi Hindu, candi-candi Buddha umumnya dibangun sebagai bentuk pengabdian kepada agama dan untuk mendapatkan ganjaran. Ajaran Buddha yang tercermin pada candi-candi di Jawa Tengah adalah Buddha Mahayana, yang masih dianut oleh umat Buddha di Indonesia sampai saat ini. Berbeda dengan aliran Buddha Hinayana yang dianut di Myanmar dan Thailand.

Dalam situs web ini, deskripsi mengenai candi di Indonesia dikelompokkan ke dalam: candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta, candi di Jawa Timur candi di Bali dan candi di Sumatra. Walaupun pada masa sekarang Jawa Tengah dan Yogyakarta merupakan dua provinsi yang berbeda, namun dalam sejarahnya kedua wilayah tersebut dapat dikatakan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Hindu, yang sangat besar peranannya dalam pembangunan candi di kedua provinsi tersebut. Pengelompokan candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta berdasarkan wilayah administratifnya saat ini sulit dilakukan, namun, berdasarkan ciri-cirinya, candi-candi tersebut dapat dikelompokkan dalam candi-candi di wilayah utara dan candi-candi di wilayah selatan.

Candi-candi yang terletak di wilayah utara, yang umumnya dibangun oleh Wangsa Sanjaya, merupakan candi Hindu dengan bentuk bangunan yang sederhana, batur tanpa hiasan, dan dibangun dalam kelompok namun masing-masing berdiri sendiri serta tidak beraturan beraturan letaknya. Yang termasuk dalam kelompok ini, di antaranya: Candi Dieng dan Candi Gedongsanga. Candi di wilayah selatan, yang umumnya dibangun oleh Wangsa Syailendra, merupakan candi Buddha dengan bentuk bangunan yang indah dan sarat dengan hiasan. Candi di wilayah utara ini umumnya dibangun dalam kelompok dengan pola yang sama, yaitu candi induk yang terletak di tengah dikelilingi oleh barisan candi perwara. Yang termasuk dalam kelompok ini, di antaranya: Candi Prambanan, Candi Mendut, Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Candi Borobudur.

Candi-candi di Jawa Timur umumnya usianya lebih muda dibandingkan yang terdapat di Jawa Tengah dan Yogyakarta, karena pembangunannya dilakukan di bawah pemerintahan kerajaan-kerajaan penerus kerajaan Mataram Hindu, seperti Kerajaan Kahuripan, Singasari, Kediri dan Majapahit. Bahan dasar, gaya bangunan, corak dan isi cerita relief candi-candi di Jawa Timur sangat beragam, tergantung pada masa pembangunannya. Misalnya, candi-candi yang dibangun pada masa Kerajaan Singasari umumnya dibuat dari batu andesit dan diwarnai oleh ajaran Tantrayana (Hindu-Buddha), sedangkan yang dibangun pada masa Kerajaan Majapahit umumnya dibuat dari bata merah dan lebih diwarnai oleh ajaran Buddha.

Candi-candi di Bali umumnya merupakan candi Hindu dan sebagian besar masih digunakan untuk pelaksanaan upacara keagamaan hingga saat ini. Di Pulau Sumatra terdapat 2 candi Buddha yang masih dapat ditemui, yaitu Candi Portibi di Provinsi Sumatra Utara dan Candi Muara Takus di Provinsi Riau.

Sebagian candi di Indonesia ditemukan dan dipugar pada awal abad ke-20. Pada tanggal 14 Juni 1913, pemerintah kolonial Belanda membentuk badan kepurbakalaan yang dinamakan Oudheidkundige Dienst (biasa disingkat OD), sehingga penanganan atas candi-candi di Indonesia menjadi lebih intensif. Situs web ini direncanakan akan memuat deskripsi seluruh candi yang ada di Indonesia, namun saat ini belum semua candi dapat terliput.


sumber = http://candi.pnri.go.id/pengantar/index.htm

Sabtu, 10 April 2010

Budaya - Candi Prambanan

Terletak 13 Km dari kota Klaten, menuju barat pada jalur jalan ke Yogyakarta dan 17 Km dari Yogya menuju timur pada jalur jalan ke kota Klaten/Surakarta, Candi Prambanan atau Candi Rara Jonggrang adalah candi Hindu terbesar di Jawa Tengah. Secara administratif kompleks candi ini berada di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat menyebut candi ini dengan nama candi Larajonggrang, suatu sebutan yang sebenarnya keliru. Rara dalam bahasa Jawa untuk menyebut anak gadis. Dalam cerita rakyat, Rara Jonggrang dikenal sebagai putri Prabhu Ratubaka yang namanya diabadikan sebagai nama peninggalan kompleks bangunan di perbukitan Saragedug sebelah selatan Candi Prambanan.

Dikisahkan dalam cerita tersebut ada seorang raksasa bernama Bandung Bandawasa yang memiliki kekuatan supranatural. Dia ingin mempersunting putri Rara Jonggrang. Untuk itu dia harus membuat candi dengan seribu arca didalamnya dalam waktu satu malam. Permintaan tersebut dipenuhi oleh Bandung Bandawasa, namun Rara Jonggrang curang sehingga pada saat yang ditentukan candi itu belum selesai, kurang sebuah arca lagi. Bandung Bandawasa marah dan mengutuk putri Rara Jonggrang menjadi pelengkap arca yang keseribu. Arca tersebut dipercayai sebagai arca Durgamahisasuramardhini yang berada di bilik utara Candi Siwa.

Kompleks Candi Prambanan mempunyai 3 halaman, yaitu halaman pertama berdenah bujur sangkar, merupakan halaman paling suci karena halaman tersebut terdapat 3 candi utama (Siwa, Wisnu, Brahma), 3 candi perwara, 2 candi apit, 4 candi kelir, 4 candi sudut/patok. Halaman kedua juga berdenah bujur sangkar, letaknya lebih rendah dari halaman pertama. Pada halaman ini terdapat 224 buah candi perwara yang disusun atas 4 deret dengan perbandingan jumlah 68, 60, 52, dan 44 candi. Susunan demikian membentuk susunan yang konsentris menuju halaman pusat.

Seni hias yang sangat menarik di kompleks Candi Prambanan ini adalah hiasan-hiasan yang berupa relief arca dewa Lokapala (8 dewa penjaga arah mata angin) yang dipahatkan pada dinding luar kaki Candi. Disamping itu, juga terdapat relief cerita Ramayanadan Kresnayana. Relief Ramayana dipahatkan pada dinding dalam pagar langkan Candi Siwa di candi Brahma. Relief Kresnayana dipahatkan pada dinding dalam pagar langkan Candi Wisnu. Selain relief arca Dewa Lokapala, relief Ramayana, dan Kresnayana, seni hias di kompleks Candi Prambanan yang menonjol adalah hiasan yang lazim disebut motif prambanan, yaitu suatu hiasan pada batur candi yang berupa seekor singa yang dalam posisi duduk diapit oleh pohon kalpataru (= pohon hayati/pohon kehidupan). Hiasan semacam ini hanya terdapat di candi Prambanan sehingga disebut dengan motif candi prambanan. Hiasan-hiasan lainnya yang banyak menghiasi dinding luar batur candi adalah pohon kalpataru yang diapit sepasang mahluk kayangan yang lazim disebut kinara-kinari (= mahluk berkepala manusia berbadan burung). Di sekitar candi Prambanan dapat dikunjungi pula beberapa candi Budha seperti candi Sajiwan, candi Lumbung, candi Sewu dan candi Plaosan. Selama bulan Mei sampai Oktober pada saat bulan purnama di plataran terbuka candi Prambanan diadakan Sendratari Ramayana yang dimulai pada pukul 19.00 - 21.00 wib.



Penulis : Silhouette
Lokasi : Des. Tlogo, Kec. Prambanan, Kab. Sleman, D.I. Yogyakarta
Fotografer : Fathul Hidayat dan Suyandi Liyis
Sumber : navigasi.net

Minggu, 21 Maret 2010

Candi UII Kembali Kejutkan Arkeolog

Laporan wartawan KOMPAS Mohamad Final Daeng


SLEMAN, KOMPAS.com — Proses penggalian Candi Kimpulan yang ditemukan di kompleks kampus Universitas Islam Indonesia, Sleman, DI Yogyakarta, kembali mengungkap fakta baru. Arkeolog dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta menemukan arca lingga-yoni di candi perwara (pendamping), Selasa (12/1/2010).

Hal ini mengejutkan para arkeolog karena lingga-yoni tak lazim berada di candi perwara, melainkan hanya terdapat di candi induk. "Hal seperti ini belum pernah ditemukan di candi-candi lain," kata Budi Sancoyo, salah satu arkeolog BP3 Yogyakarta yang bertugas dalam ekskavasi tersebut.

Lingga-yoni di candi perwara berukuran 4 x 6 meter itu berdiri sejajar dengan dua buah lapik (batu sesembahan), arca nandi (sapi), dan sebuah sumur batu berukuran 80 x 80 cm dengan kedalaman sementara 40 cm yang ditemukan sebelumnya.

Sumur itu sendiri juga menjadi keunikan karena tidak lazim ditemukan dalam candi dan belum diketahui fungsinya. Adapun lingga-yoni sebelumnya telah ditemukan bersama arca Ganesha dalam candi induk yang berukuran 6 x 6 meter.

"Kami belum bisa menyimpulkan arti temuan lingga-yoni dan sumur yang ada di candi perwara ini karena harus menggali referensi-referensi lain," kata Budi.

Sebelumnya, Candi Kimpulan juga dinyatakan unik karena struktur bangunannya yang merupakan kombinasi batu dan kayu. Arca yang ditemukan juga memiliki desain yang berbeda dengan desain-desain Ganesha di candi lain.

KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG
Salah satu sudut candi kuno yang telah terungkap dari penemuan di kompleks Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta berhasil memetakan denah candi yang berbentuk bujur sangkar berukuran 6 x 6 meter itu. Namun, BP3 masih memerlukan waktu penggalian sekitar dua minggu lagi untuk mengungkap struktur lengkap candi zaman Mataram kuno abad ke-9-10 Masehi.


sumber = http://sains.kompas.com/read/2010/01/12/15213747/Candi.UII.Kembali.Kejutkan.Arkeolog

Senin, 08 Maret 2010

Prambanan: Proyek 1000 Candi

1000 Candi di Prambanan

Sebutan proyek 1000 candi sering kami gunakan untuk menyebut tugas dadakan yang sering diberikan dari pimpinan di kantor. Maklum tim kerja kami selalu menjadi harapan terakhir setiap ada hal yang tidak jelas, tidak tahu harus diapakan dan harus selesai segera.

Cerita 1000 candi pasti sudah didengar oleh orang Indonesia di seantero negeri. Adalah Bandung Bondowoso dan Loro Jonggrang yang menjadi tokoh utama dalam kisah itu.

Loro Jonggrang adalah putri Prabu Boko
-raja jahat yang mati dibunuh Bandung Bondowoso- yang memberi syarat kepada Bandung Bondowoso untuk membangun 1000 candi dalam satu malam jika ingin menikah dengan dirinya. Bandung Bondowoso lantas mengerahkan pasukan jin untuk membantunya.

Menjelang matahari terbit, Bandung Bondowoso nyaris berhasil menyelesaikan tugasnya. Khawatir akan keberhasilan Bandung, dan tidak ikhlas menikah dengan orang yang membunuh ayahnya, maka Loro Jonggrang meminta bantuan wanita di desa untuk memukul penumbuk padi. Tujuannya supaya ayam jago berkokok dan mengakhiri kepanikan itu dengan kekalahan Bandung.

999 jumlah candi yang berhasil dibuatnya. Mengetahui kecurangan Loro Jonggrang , Bandung pun murka dan mengutuknya menjadi arca candi ke seribu. Tak hanya itu, para wanita di desa itu juga dikutuk menjadi perawan tua.

Kisah itu yang menjadi legenda 1000 candi di kompleks Prambanan. Perjalanan dari Jogja ke Prambanan tidak memakan waktu lama. Sekitar 30 menit dari Prawirotaman melalui Ring Road Utara mengambil arah ke Solo.

Selain wisata kompleks Prambanan, jika anda ingin mengambil paket, loket menyediakan tur Prambanan - Candi Boko. Tidak terlalu mahal.

Ups, ternyata kamera dikenakan pungutan Rp 1.000 untuk kamera foto, dan Rp 3.000 untuk kamera video. Tapi harga itu tidak sebanding dengan keindahan purbakala yang bisa diabadikan untuk memuaskan hasrat narsis dan unggah foto di facebook.

Panas terik akan menemani perjalanan wisata anda di kompleks Prambanan. Kacamata hitam, topi lapangan dan sebotol air minum menjadi benda wajib para pelancong.

Suasana Prambanan saat kami tiba masih dalam proses rehabilitasi pasca gempa. Gempa yang sempat mengguncang Jogja beberapa waktu lalu itu juga sempat meluluhlantakkan beberapa bagian candi di kompleks Prambanan.

Beberapa rombongan wisatawan tampak sibuk mengabadikan kemegahan candi Whisnu. Ada sekelompok mahasiswa pariwisata yang sibuk menjelaskan kisah candi ini kepada turis asing. Anak kecil berlarian menghindari panas matahari. Orang lanjut usia berusaha meniti tangga demi tangga dibantu anak dan cucunya.

Sementara itu, di kejauhan petugas keamanan mengawasi lingkungan untuk menjamin kenyamanan kami semua. Dari atas anjungan foto tampak sekelompok orang menjajakan jasa foto kilat. Menjelang pintu keluar terlihat pedagang kaki lima menawarkan cinderamata.

Suasana yang harmonis, semua hidup berdampingan, saling membantu. Angin menyapa lembut, betapa damai dan indahnya Indonesiaku ini.

Kompleks Prambanan terdiri dari banyak candi. Disebut candi Prambanan karena lokasinya berada di daerah Prambanan. Wisata yang tidak mahal, menarik, penuh dengan pesan moral, peninggalan purbakala yang sangat berharga warisan nenek moyang bangsa.



sumber = http://aryachronicle.blogspot.com/2009/08/prambanan-proyek-1000-candi.html