Minggu, 29 Agustus 2010

C a n d i

Kata "candi" mengacu pada berbagai macam bentuk dan fungsi bangunan, antara lain empat beribadah, pusat pengajaran agama, tempat menyimpan abu jenazah para raja, tempat pemujaan atau tempat bersemayam dewa, petirtaan (pemandian) dan gapura. Walaupun fungsinya bermacam-macam, secara umum fungsi candi tidak dapat dilepaskan dari kegiatan keagamaan, khususnya agama Hindu dan Buddha, pada masa yang lalu. Oleh karena itu, sejarah pembangunan candi sangat erat kaitannya dengan sejarah kerajaan-kerajaan dan perkembangan agama Hindu dan Buddha di Indonesia, sejak abad ke-5 sampai dengan abad ke-14.

Karena sjaran Hindu dan Buddha berasal dari negara India, maka bangunan candi banyak mendapat pengaruh India dalam berbagai aspeknya, seperti: teknik bangunan, gaya arsitektur, hiasan, dan sebagainya. Walaupun demikian, pengaruh kebudayaan dan kondisi alam setempat sangat kuat, sehingga arsitektur candi Indonesia mempunyai karakter tersendiri, baik dalam penggunaan bahan, teknik kontruksi maupun corak dekorasinya. Dinding candi biasanya diberi hiasan berupa relief yang mengandung ajaran atau cerita tertentu.

Dalam kitab Manasara disebutkan bahwa bentuk candi merupakan pengetahuan dasar seni bangunan gapura, yaitu bangunan yang berada pada jalan masuk ke atau keluar dari suatu tempat, lahan, atau wilayah. Gapura sendiri bisa berfungsi sebagai petunjuk batas wilayah atau sebagai pintu keluar masuk yang terletak pada dinding pembatas sebuah komplek bangunan tertentu. Gapura mempunyai fungsi penting dalam sebuah kompleks bangunan, sehingga gapura juga nencerminkan keagungan dari bangunan yang dibatasinya. Perbedaan kedua bangunan tersebut terletak pada ruangannya. Candi mempunyai ruangan yang tertutup, sedangkan ruangan dalam gapura merupakan lorong yang berfungsi sebagai jalan keluar-masuk.

Beberapa kitab keagamaan di India, misalnya Manasara dan Sipa Prakasa, memuat aturan pembuatan gapura yang dipegang teguh oleh para seniman bangunan di India. Para seniman pada masa itu percaya bahwa ketentuan yang tercantum dalam kitab-kitab keagamaan bersifat suci dan magis. Mereka yakin bahwa pembuatan bangunan yang benar dan indah mempunyai arti tersendiri bagi pembuatnya dan penguasa yang memerintahkan membangun. Bangunan yang dibuat secara benar dan indah akan mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat. Keyakinan tersebut membuat para seniman yang akan membuat gapura melakukan persiapan dan perencanaan yang matang, baik yang bersifat keagamaan maupun teknis.

Salah satu bagian terpenting dalam perencanaan teknis adalah pembuatan sketsa yang benar, karena dengan sketsa yang benar akan dihasilkan bangunan seperti yang diharapkan sang seniman. Pembuatan sketsa bangunan harus didasarkan pada aturan dan persyaratan tertentu, berkaitan dengan bentuk, ukuran, maupun tata letaknya. Apabila dalam pembuatan bangunan terjadi penyimpangan dari ketentuan-ketentuan dalam kitab keagamaan akan berakibat kesengsaraan besar bagi pembuatnya dan masyarakat di sekitarnya. Hal itu berarti bahwa ketentuan-ketentuan dalam kitab keagamaan tidak dapat diubah dengan semaunya. Namun, suatu kebudayaan, termasuk seni bangunan, tidak dapat lepas dari pengaruh keadaan alam dan budaya setempat, serta pengaruh waktu. Di samping itu, setiap seniman mempunyai imajinasi dan kreatifitas yang berbeda.

Sampai saat ini candi masih banyak didapati di berbagai wilayah Indonesia, terutama di Sumatra, Jawa, dan Bali. Walaupun sebagian besar di antaranya tinggal reruntuhan, namun tidak sedikit yang masih utuh dan bahkan masih digunakan untuk melaksanakan upacara keagamaan. Sebagai hasil budaya manusia, keindahan dan keanggunan bangunan candi memberikan gambaran mengenai kebesaran kerajaan-kerajaan pada masa lampau.

Candi-candi Hindu di Indonesia umumnya dibangun oleh para raja pada masa hidupnya. Arca dewa, seperti Dewa Wishnu, Dewa Brahma, Dewi Tara, Dewi Durga, yang ditempatkan dalam candi banyak yang dibuat sebagai perwujudan leluhurnya. Bahkan kadang-kadang sejarah raja yang bersangkutan dicantumkan dalam prasasti persembahan candi tersebut. Berbeda dengan candi-candi Hindu, candi-candi Buddha umumnya dibangun sebagai bentuk pengabdian kepada agama dan untuk mendapatkan ganjaran. Ajaran Buddha yang tercermin pada candi-candi di Jawa Tengah adalah Buddha Mahayana, yang masih dianut oleh umat Buddha di Indonesia sampai saat ini. Berbeda dengan aliran Buddha Hinayana yang dianut di Myanmar dan Thailand.

Dalam situs web ini, deskripsi mengenai candi di Indonesia dikelompokkan ke dalam: candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta, candi di Jawa Timur candi di Bali dan candi di Sumatra. Walaupun pada masa sekarang Jawa Tengah dan Yogyakarta merupakan dua provinsi yang berbeda, namun dalam sejarahnya kedua wilayah tersebut dapat dikatakan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Hindu, yang sangat besar peranannya dalam pembangunan candi di kedua provinsi tersebut. Pengelompokan candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta berdasarkan wilayah administratifnya saat ini sulit dilakukan, namun, berdasarkan ciri-cirinya, candi-candi tersebut dapat dikelompokkan dalam candi-candi di wilayah utara dan candi-candi di wilayah selatan.

Candi-candi yang terletak di wilayah utara, yang umumnya dibangun oleh Wangsa Sanjaya, merupakan candi Hindu dengan bentuk bangunan yang sederhana, batur tanpa hiasan, dan dibangun dalam kelompok namun masing-masing berdiri sendiri serta tidak beraturan beraturan letaknya. Yang termasuk dalam kelompok ini, di antaranya: Candi Dieng dan Candi Gedongsanga. Candi di wilayah selatan, yang umumnya dibangun oleh Wangsa Syailendra, merupakan candi Buddha dengan bentuk bangunan yang indah dan sarat dengan hiasan. Candi di wilayah utara ini umumnya dibangun dalam kelompok dengan pola yang sama, yaitu candi induk yang terletak di tengah dikelilingi oleh barisan candi perwara. Yang termasuk dalam kelompok ini, di antaranya: Candi Prambanan, Candi Mendut, Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Candi Borobudur.

Candi-candi di Jawa Timur umumnya usianya lebih muda dibandingkan yang terdapat di Jawa Tengah dan Yogyakarta, karena pembangunannya dilakukan di bawah pemerintahan kerajaan-kerajaan penerus kerajaan Mataram Hindu, seperti Kerajaan Kahuripan, Singasari, Kediri dan Majapahit. Bahan dasar, gaya bangunan, corak dan isi cerita relief candi-candi di Jawa Timur sangat beragam, tergantung pada masa pembangunannya. Misalnya, candi-candi yang dibangun pada masa Kerajaan Singasari umumnya dibuat dari batu andesit dan diwarnai oleh ajaran Tantrayana (Hindu-Buddha), sedangkan yang dibangun pada masa Kerajaan Majapahit umumnya dibuat dari bata merah dan lebih diwarnai oleh ajaran Buddha.

Candi-candi di Bali umumnya merupakan candi Hindu dan sebagian besar masih digunakan untuk pelaksanaan upacara keagamaan hingga saat ini. Di Pulau Sumatra terdapat 2 candi Buddha yang masih dapat ditemui, yaitu Candi Portibi di Provinsi Sumatra Utara dan Candi Muara Takus di Provinsi Riau.

Sebagian candi di Indonesia ditemukan dan dipugar pada awal abad ke-20. Pada tanggal 14 Juni 1913, pemerintah kolonial Belanda membentuk badan kepurbakalaan yang dinamakan Oudheidkundige Dienst (biasa disingkat OD), sehingga penanganan atas candi-candi di Indonesia menjadi lebih intensif. Situs web ini direncanakan akan memuat deskripsi seluruh candi yang ada di Indonesia, namun saat ini belum semua candi dapat terliput.


sumber = http://candi.pnri.go.id/pengantar/index.htm

Sabtu, 10 April 2010

Budaya - Candi Prambanan

Terletak 13 Km dari kota Klaten, menuju barat pada jalur jalan ke Yogyakarta dan 17 Km dari Yogya menuju timur pada jalur jalan ke kota Klaten/Surakarta, Candi Prambanan atau Candi Rara Jonggrang adalah candi Hindu terbesar di Jawa Tengah. Secara administratif kompleks candi ini berada di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat menyebut candi ini dengan nama candi Larajonggrang, suatu sebutan yang sebenarnya keliru. Rara dalam bahasa Jawa untuk menyebut anak gadis. Dalam cerita rakyat, Rara Jonggrang dikenal sebagai putri Prabhu Ratubaka yang namanya diabadikan sebagai nama peninggalan kompleks bangunan di perbukitan Saragedug sebelah selatan Candi Prambanan.

Dikisahkan dalam cerita tersebut ada seorang raksasa bernama Bandung Bandawasa yang memiliki kekuatan supranatural. Dia ingin mempersunting putri Rara Jonggrang. Untuk itu dia harus membuat candi dengan seribu arca didalamnya dalam waktu satu malam. Permintaan tersebut dipenuhi oleh Bandung Bandawasa, namun Rara Jonggrang curang sehingga pada saat yang ditentukan candi itu belum selesai, kurang sebuah arca lagi. Bandung Bandawasa marah dan mengutuk putri Rara Jonggrang menjadi pelengkap arca yang keseribu. Arca tersebut dipercayai sebagai arca Durgamahisasuramardhini yang berada di bilik utara Candi Siwa.

Kompleks Candi Prambanan mempunyai 3 halaman, yaitu halaman pertama berdenah bujur sangkar, merupakan halaman paling suci karena halaman tersebut terdapat 3 candi utama (Siwa, Wisnu, Brahma), 3 candi perwara, 2 candi apit, 4 candi kelir, 4 candi sudut/patok. Halaman kedua juga berdenah bujur sangkar, letaknya lebih rendah dari halaman pertama. Pada halaman ini terdapat 224 buah candi perwara yang disusun atas 4 deret dengan perbandingan jumlah 68, 60, 52, dan 44 candi. Susunan demikian membentuk susunan yang konsentris menuju halaman pusat.

Seni hias yang sangat menarik di kompleks Candi Prambanan ini adalah hiasan-hiasan yang berupa relief arca dewa Lokapala (8 dewa penjaga arah mata angin) yang dipahatkan pada dinding luar kaki Candi. Disamping itu, juga terdapat relief cerita Ramayanadan Kresnayana. Relief Ramayana dipahatkan pada dinding dalam pagar langkan Candi Siwa di candi Brahma. Relief Kresnayana dipahatkan pada dinding dalam pagar langkan Candi Wisnu. Selain relief arca Dewa Lokapala, relief Ramayana, dan Kresnayana, seni hias di kompleks Candi Prambanan yang menonjol adalah hiasan yang lazim disebut motif prambanan, yaitu suatu hiasan pada batur candi yang berupa seekor singa yang dalam posisi duduk diapit oleh pohon kalpataru (= pohon hayati/pohon kehidupan). Hiasan semacam ini hanya terdapat di candi Prambanan sehingga disebut dengan motif candi prambanan. Hiasan-hiasan lainnya yang banyak menghiasi dinding luar batur candi adalah pohon kalpataru yang diapit sepasang mahluk kayangan yang lazim disebut kinara-kinari (= mahluk berkepala manusia berbadan burung). Di sekitar candi Prambanan dapat dikunjungi pula beberapa candi Budha seperti candi Sajiwan, candi Lumbung, candi Sewu dan candi Plaosan. Selama bulan Mei sampai Oktober pada saat bulan purnama di plataran terbuka candi Prambanan diadakan Sendratari Ramayana yang dimulai pada pukul 19.00 - 21.00 wib.



Penulis : Silhouette
Lokasi : Des. Tlogo, Kec. Prambanan, Kab. Sleman, D.I. Yogyakarta
Fotografer : Fathul Hidayat dan Suyandi Liyis
Sumber : navigasi.net

Minggu, 21 Maret 2010

Candi UII Kembali Kejutkan Arkeolog

Laporan wartawan KOMPAS Mohamad Final Daeng


SLEMAN, KOMPAS.com — Proses penggalian Candi Kimpulan yang ditemukan di kompleks kampus Universitas Islam Indonesia, Sleman, DI Yogyakarta, kembali mengungkap fakta baru. Arkeolog dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta menemukan arca lingga-yoni di candi perwara (pendamping), Selasa (12/1/2010).

Hal ini mengejutkan para arkeolog karena lingga-yoni tak lazim berada di candi perwara, melainkan hanya terdapat di candi induk. "Hal seperti ini belum pernah ditemukan di candi-candi lain," kata Budi Sancoyo, salah satu arkeolog BP3 Yogyakarta yang bertugas dalam ekskavasi tersebut.

Lingga-yoni di candi perwara berukuran 4 x 6 meter itu berdiri sejajar dengan dua buah lapik (batu sesembahan), arca nandi (sapi), dan sebuah sumur batu berukuran 80 x 80 cm dengan kedalaman sementara 40 cm yang ditemukan sebelumnya.

Sumur itu sendiri juga menjadi keunikan karena tidak lazim ditemukan dalam candi dan belum diketahui fungsinya. Adapun lingga-yoni sebelumnya telah ditemukan bersama arca Ganesha dalam candi induk yang berukuran 6 x 6 meter.

"Kami belum bisa menyimpulkan arti temuan lingga-yoni dan sumur yang ada di candi perwara ini karena harus menggali referensi-referensi lain," kata Budi.

Sebelumnya, Candi Kimpulan juga dinyatakan unik karena struktur bangunannya yang merupakan kombinasi batu dan kayu. Arca yang ditemukan juga memiliki desain yang berbeda dengan desain-desain Ganesha di candi lain.

KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG
Salah satu sudut candi kuno yang telah terungkap dari penemuan di kompleks Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta berhasil memetakan denah candi yang berbentuk bujur sangkar berukuran 6 x 6 meter itu. Namun, BP3 masih memerlukan waktu penggalian sekitar dua minggu lagi untuk mengungkap struktur lengkap candi zaman Mataram kuno abad ke-9-10 Masehi.


sumber = http://sains.kompas.com/read/2010/01/12/15213747/Candi.UII.Kembali.Kejutkan.Arkeolog

Senin, 08 Maret 2010

Prambanan: Proyek 1000 Candi

1000 Candi di Prambanan

Sebutan proyek 1000 candi sering kami gunakan untuk menyebut tugas dadakan yang sering diberikan dari pimpinan di kantor. Maklum tim kerja kami selalu menjadi harapan terakhir setiap ada hal yang tidak jelas, tidak tahu harus diapakan dan harus selesai segera.

Cerita 1000 candi pasti sudah didengar oleh orang Indonesia di seantero negeri. Adalah Bandung Bondowoso dan Loro Jonggrang yang menjadi tokoh utama dalam kisah itu.

Loro Jonggrang adalah putri Prabu Boko
-raja jahat yang mati dibunuh Bandung Bondowoso- yang memberi syarat kepada Bandung Bondowoso untuk membangun 1000 candi dalam satu malam jika ingin menikah dengan dirinya. Bandung Bondowoso lantas mengerahkan pasukan jin untuk membantunya.

Menjelang matahari terbit, Bandung Bondowoso nyaris berhasil menyelesaikan tugasnya. Khawatir akan keberhasilan Bandung, dan tidak ikhlas menikah dengan orang yang membunuh ayahnya, maka Loro Jonggrang meminta bantuan wanita di desa untuk memukul penumbuk padi. Tujuannya supaya ayam jago berkokok dan mengakhiri kepanikan itu dengan kekalahan Bandung.

999 jumlah candi yang berhasil dibuatnya. Mengetahui kecurangan Loro Jonggrang , Bandung pun murka dan mengutuknya menjadi arca candi ke seribu. Tak hanya itu, para wanita di desa itu juga dikutuk menjadi perawan tua.

Kisah itu yang menjadi legenda 1000 candi di kompleks Prambanan. Perjalanan dari Jogja ke Prambanan tidak memakan waktu lama. Sekitar 30 menit dari Prawirotaman melalui Ring Road Utara mengambil arah ke Solo.

Selain wisata kompleks Prambanan, jika anda ingin mengambil paket, loket menyediakan tur Prambanan - Candi Boko. Tidak terlalu mahal.

Ups, ternyata kamera dikenakan pungutan Rp 1.000 untuk kamera foto, dan Rp 3.000 untuk kamera video. Tapi harga itu tidak sebanding dengan keindahan purbakala yang bisa diabadikan untuk memuaskan hasrat narsis dan unggah foto di facebook.

Panas terik akan menemani perjalanan wisata anda di kompleks Prambanan. Kacamata hitam, topi lapangan dan sebotol air minum menjadi benda wajib para pelancong.

Suasana Prambanan saat kami tiba masih dalam proses rehabilitasi pasca gempa. Gempa yang sempat mengguncang Jogja beberapa waktu lalu itu juga sempat meluluhlantakkan beberapa bagian candi di kompleks Prambanan.

Beberapa rombongan wisatawan tampak sibuk mengabadikan kemegahan candi Whisnu. Ada sekelompok mahasiswa pariwisata yang sibuk menjelaskan kisah candi ini kepada turis asing. Anak kecil berlarian menghindari panas matahari. Orang lanjut usia berusaha meniti tangga demi tangga dibantu anak dan cucunya.

Sementara itu, di kejauhan petugas keamanan mengawasi lingkungan untuk menjamin kenyamanan kami semua. Dari atas anjungan foto tampak sekelompok orang menjajakan jasa foto kilat. Menjelang pintu keluar terlihat pedagang kaki lima menawarkan cinderamata.

Suasana yang harmonis, semua hidup berdampingan, saling membantu. Angin menyapa lembut, betapa damai dan indahnya Indonesiaku ini.

Kompleks Prambanan terdiri dari banyak candi. Disebut candi Prambanan karena lokasinya berada di daerah Prambanan. Wisata yang tidak mahal, menarik, penuh dengan pesan moral, peninggalan purbakala yang sangat berharga warisan nenek moyang bangsa.



sumber = http://aryachronicle.blogspot.com/2009/08/prambanan-proyek-1000-candi.html

Sabtu, 05 Desember 2009

misteri candi prambanan

MISTERI CANDI PRAMBANAN

Candi Prambanan adalah bangunan luar biasa cantik yang dibangun di abad ke-10 pada masa pemerintahan dua raja, Rakai Pikatan dan Rakai Balitung. Menjulang setinggi 47 meter (5 meter lebih tinggi dari Candi Borobudur), berdirinya candi ini telah memenuhi keinginan pembuatnya, menunjukkan kejayaan Hindu di tanah Jawa. Candi ini terletak 17 kilometer dari pusat kota Yogyakarta, di tengah area yang kini dibangun taman indah.

Ada sebuah legenda yang selalu diceritakan masyarakat Jawa tentang candi ini. Alkisah, lelaki bernama Bandung Bondowoso mencintai Roro Jonggrang. Karena tak mencintai, Jonggrang meminta Bondowoso membuat candi dengan 1000 arca dalam semalam.

Permintaan itu hampir terpenuhi sebelum Jonggrang meminta warga desa menumbuk padi dan membuat api besar agar terbentuk suasana seperti pagi hari. Bondowoso yang baru dapat membuat 999 arca kemudian mengutuk Jonggrang menjadi arca yang ke-1000 karena merasa dicurangi.

Candi Prambanan memiliki 3 candi utama di halaman utama, yaitu Candi Wisnu, Brahma, dan Siwa. Ketiga candi tersebut adalah lambang Trimurti dalam kepercayaan Hindu. Ketiga candi itu menghadap ke timur. Setiap candi utama memiliki satu candi pendamping yang menghadap ke barat, yaitu Nandini untuk Siwa, Angsa untuk Brahma, dan Garuda untuk Wisnu. Selain itu, masih terdapat 2 candi apit, 4 candi kelir, dan 4 candi sudut. Sementara, halaman kedua memiliki 224 candi.

Memasuki candi Siwa yang terletak di tengah dan bangunannya paling tinggi, anda akan menemui 4 buah ruangan. Satu ruangan utama berisi arca Siwa, sementara 3 ruangan yang lain masing-masing berisi arca Durga (istri Siwa), Agastya (guru Siwa), dan Ganesha (putra Siwa). Arca Durga itulah yang disebut-sebut sebagai arca Roro Jonggrang dalam legenda yang diceritakan di atas.

Di Candi Wisnu yang terletak di sebelah utara candi Siwa, anda hanya akan menjumpai satu ruangan yang berisi arca Wisnu. Demikian juga Candi Brahma yang terletak di sebelah selatan Candi Siwa, anda juga hanya akan menemukan satu ruangan berisi arca Brahma.

Candi pendamping yang cukup memikat adalah Candi Garuda yang terletak di dekat Candi Wisnu. Candi ini menyimpan kisah tentang sosok manusia setengah burung yang bernama Garuda. Garuda merupakan burung mistik dalam mitologi Hindu yang bertubuh emas, berwajah putih, bersayap merah, berparuh dan bersayap mirip elang. Diperkirakan, sosok itu adalah adaptasi Hindu atas sosok Bennu (berarti ‘terbit’ atau ‘bersinar’, biasa diasosiasikan dengan Dewa Re) dalam mitologi Mesir Kuno atau Phoenix dalam mitologi Yunani Kuno. Garuda bisa menyelamatkan ibunya dari kutukan Aruna (kakak Garuda yang terlahir cacat) dengan mencuri Tirta Amerta (air suci para dewa).

Kemampuan menyelamatkan itu yang dikagumi oleh banyak orang sampai sekarang dan digunakan untuk berbagai kepentingan. Indonesia menggunakannya untuk lambang negara. Konon, pencipta lambang Garuda Pancasila mencari inspirasi di candi ini. Negara lain yang juga menggunakannya untuk lambang negara adalah Thailand, dengan alasan sama tapi adaptasi bentuk dan kenampakan yang berbeda. Di Thailand, Garuda dikenal dengan istilah Krut atau Pha Krut.



Prambanan juga memiliki relief candi yang memuat kisah Ramayana. Menurut para ahli, relief itu mirip dengan cerita Ramayana yang diturunkan lewat tradisi lisan. Relief lain yang menarik adalah pohon Kalpataru yang dalam agama Hindu dianggap sebagai pohon kehidupan, kelestarian dan keserasian lingkungan. Di Prambanan, relief pohon Kalpataru digambarkan tengah mengapit singa. Keberadaan pohon ini membuat para ahli menganggap bahwa masyarakat abad ke-9 memiliki kearifan dalam mengelola lingkungannya.

Sama seperti sosok Garuda, Kalpataru kini juga digunakan untuk berbagai kepentingan. Di Indonesia, Kalpataru menjadi lambang Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Bahkan, beberapa ilmuwan di Bali mengembangkan konsep Tri Hita Karana untuk pelestarian lingkungan dengan melihat relief Kalpataru di candi ini. Pohon kehidupan itu juga dapat ditemukan pada gunungan yang digunakan untuk membuka kesenian wayang. Sebuah bukti bahwa relief yang ada di Prambanan telah mendunia.

Kalau cermat, anda juga bisa melihat berbagai relief burung, kali ini burung yang nyata. Relief-relief burung di Candi Prambanan begitu natural sehingga para biolog bahkan dapat mengidentifikasinya sampai tingkat genus. Salah satunya relief Kakatua Jambul Kuning (Cacatua sulphurea) yang mengundang pertanyaan. Sebabnya, burung itu sebenarnya hanya terdapat di Pulau Masakambing, sebuah pulau di tengah Laut Jawa. Lalu, apakah jenis itu dulu pernah banyak terdapat di Yogyakarta? Jawabannya silakan cari tahu sendiri. Sebab, hingga kini belum ada satu orang pun yang bisa memecahkan misteri itu.
Ribuan Umat Hindu Ikuti Upacara Tawur Kesanga

KESRA--6 MARET: Ribuan umat Hindu mengikuti upacara Tawur Kesanga tahun Caka 1930 di pelataran Candi Prambanan yang terletak di perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kamis (6/3).

MI: Ribuan umat Hindu mengikuti upacara Tawur Kesanga tahun Caka 1930 di pelataran Candi Prambanan yang terletak di perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kamis (6/3).

Upacara Tawur Kesanga merupakan rangkaian persiapan hari raya Nyepi yang sebelumnya didahului dengan upacara Melasti yakni upacara pembersihan semesta dan sarana sembahyang.

Menurut Ketua Panitia Hari Raya Nyepi, I Gusti Gede Hendrata Wisnu dalam Tawur Kesanga dilakukan persembahan suci/caru berupa panca satya yang disimbolkan dalam lima ayam dengan lima warna yang berbeda. "Ini hanya simbolisasi dalam Tawur Kesanga, sedangkan untuk Tawur Agung persembahan suci biasanya berupa kepala kerbau, tetapi ini dilakukan di masing-masing pura," katanya.

Dia mengatakan dalam Tawur Kesanga upacara sembahyang dipimpin oleh tiga pandita yakni Sri Kanjeng Begawan Istri Agung Ratu Gayatri, Pandita Ida Sri Begawan Gede Putra Manuwarsa, dan Romo Pandito Pujobroto Gati atau Romo Miming.

Ia mengatakan setelah melakukan Tawur Kesanga maupun Tawur Agung selanjutnya umat Hindu akan melakukan brata penyepian yang terdiri dari amati lelungan (tidak bepergian), amati karyo (tidak bekerja), amati lelanguan (tidak melampiaskan indria, seperti hura-hura/hiburan), dan amati geni (tidak menyalakan api). "Tetapi yang terpenting adalah perenungan dan introspeksi diri," katanya.

Upacara Tawur Kesanga ini dihadiri umat Hindu dari DIY, Jateng, dan beberapa daerah seperti Bali, dan Jawa Barat. Mayoritas umat Hindu yang hadir mengenakan pakaian adat Bali tetapi tidak sedikit pula yang

mengenakan pakaian adat Jawa. Upacara tersebut juga dihadiri Gubernur Jateng Ali Mufiz, Parisada Hindu Dharma Pusat serta wakil Bupati Klaten, Jateng. (mo/pd)
Candi Hindu dan Keemasan Peradaban Nusantara

KAWASAN arkeologi yang memiliki banyak sekali peninggalan purbakala, salah satunya Yogyakarta. Peninggalan-peninggalan tersebut berupa candi-candi, istana dan makam raja-raja, goa-goa maupun tempat-tempat peristirahatan raja-raja zaman dulu. Semua peninggalan tersebut tersebar hampir di seluruh kawasan DIY dari barat di hingga ujung timur.

Dengan diketemukannya kompleks Candi Prambanan atau biasa disebut juga Candi Loro Jonggrang di sekitar pinggiran kota Yogyakarta ke arah timur yang berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah, para ahli berpendapat dulu di sekitar daerah tersebut merupakan pusat kebudayaan dan ibu kota kerajaan. Bukti-bukti tertulis yang ditemukan pada candi-candi tersebut juga membuktikan bahwa Jawa Tengah pada pemerintahan Mataram Kuno merupakan masa keemasan perkembangan agama Hindu di Jawa.

Tentang kapan tepatnya candi Hindu terbesar di Jawa ini didirikan, sampai sekarang data otentik tentang hal ini belum ditemukan. Para ahli purbakala pun banyak yang berbeda penafsiran tentang kapan tepatnya Candi Prambanan ini berdiri. Tetapi para ahli arkeologi tersebut mempunyai kesamaan pendapat mengenai penemuan yang menuliskan bahwa zaman kejayaan Kerajaan Mataran Hindu di Jawa Tengah berkisar antara abad VII dan X Masehi. Dari kesamaan pendapat ini, Candi Prambanan yang merupakan candi Hindu termegah dan merupakan pusat kerajaan maka bisa disimpulkan bahwa candi ini berdiri diperkirakan pada abad VIII Masehi.

Mengenai siapa yang mendirikan Candi Prambanan juga masih simpang-siur. Menurut beberapa ahli pada masa itu di Jawa Tengah hanya satu dinasti yang memerintah yaitu Dinasti Syailendra yang menganut agama Buddha. Tetapi, ada juga sebagian ahli menuliskan bahwa pada masa tersebut ada dua dinasti yang memerintah Jawa Tengah, yakni Dinasti Syailendra dan Dinasti Sanjaya yang menganut agama Hindu. Bukti adanya dua dinasti yang memerintah Jawa Tengah dapat ditemukan di dua prasasti. Prasasti Canggal yang berangka tahun 732 Masehi membuktikan bahwa dinasti Sanjaya berkuasa dari tahun 732-907 Masehi. Sedangkan dinasti Syailendra dibuktikan dengan ditemukannya Candi Kalasan yang beraliran Buddha dengan menuliskan dinasti Syailendra berkuasa pada abad VII.

Bukti otentik dan data yang jelas yang berisi tentang kapan dan siapa raja yang membangun Candi Prambanan sampai hari ini belum diketahui. Satu-satunya bukti yang dihubungkan dengan tahun pendirian candi ini adalah sebuah prasasti yang berangka tahun 856 Masehi di Desa Wukir, Yogyakarta tersebut, menyebutkan Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya mendirikan sebuah candi yang dideskripsikan cocok dengan gambaran Candi Prambanan. Ini diperkuat dengan tulisan pendek yang ditemukan pada Candi Prambanan yang menyebutkan nama Rakai Pikatan, sehingga disimpulkan candi ini berdiri pada abad IX.

Candi Prambanan ditemukan pada tahun 1733 oleh C.A. Lons dengan keadaan yang mengenaskan, bangunan dalam keadaan runtuh dan ditumbuhi semak belukar, dan baru tahun 1885 oleh Jr. JW Yzerman, Dr Groneman dan Th Van Erp mencoba mengumpulkan bagian-bagian candi. Usaha pemugaran candi ini terus berlanjut dan akhirnya selesai pada tahun 1982 dengan jumlah keseluruhan dalam kompleks Candi Prambanan terdiri atas 16 bangunan candi besar dan kecil. Di antaranya Candi Ciwa, Candi Wisnu, Candi Brahma, Candi Nandi, Candi Apit, Candi Kelir dan puluhan candi kecil-kecil.

Kompleks bangunan Candi Prambanan terdiri atas tiga halaman, yaitu halaman luar yang dikelilingi oleh tembok yang berukuran 222 m x 390 m, kedua adalah halaman tengah yang dikelilingi oleh tembok berukuran 110 m x 110 m, sedangkan halaman terakhir merupakan pusat candi yang dikelilingi oleh tembok berukuran 110 m x 110 m. Sementara untuk menghubungkan ketiga halaman tersebut terdapat empat buah gapura yang terletak pada keempat sisi. Semua candi tersebut terletak di pusat halaman tengah.

Catatan tentang fungsi candi-candi tersebut juga tidak ada, tetapi seperti telah disebutkan, bahwa Candi Prambanan dipercaya pada masa itu sebagai pusat kebudayaan dan ibu kota kerajaan. Maka disimpulkan bahwa kompleks Candi Prambanan merupakan tempat persembahyangan raja-raja. Ini dapat dilihat dari besar dan luasnya bangunan kompleks yang megah, yang dibangun khusus untuk kerabat keraton. Hal ini terlihat dari pahatan atau relief pada sekeliling candi yang menggambarkan makhluk-makhluk sorga, dan replika Gunung Mahameru yang diyakini merupakan tempat bersemayamnya dewa-dewa. Selain itu, terdapat arca Nandiswara dan Mahakala yang merupakan manifestasi dari Dewa Ciwa yang dianut oleh Dinasti Sanjaya yakni Hindu Ciwa.

Dari Spiritual ke Ekonomis

Sejarah terus berubah seiring dengan makin tuanya usia bumi, begitu pula dengan perkembangan kebudayaan yang makin lama makin tergeser, kebudayaan dan kepercayaan yang telah ada terlebih dahulu tergeser dengan kebudayaan dan kepercayaan baru.

Pesatnya perkembangan pengaruh Islam dari Gujarat, India yang masuk ke Indonesia lewat pesisir Jawa, juga berpengaruh terhadap runtuhnya Kerajaan Hindu Majapahit, akhirnya kebudayaan ini terus bergeser ke arah timur. Hal ini yang juga mengakibatkan peninggalan-peninggalan Kerajaan-kerajaan Hindu seperti candi-candi mulai ditinggalkan fungsinya sebagai sarana spiritual dan peribadatan.

Memasuki abad modern sejak abad ke-19, peninggalan dari zaman klasik dari abad IV, sebagian besar peninggalan candi-candi kecil yang terkubur di dalam tanah akibat bencana meletusnya Gunung Merapi, mulai kembali ditemukan oleh ahli-ahli arkeologi. Penemuan-penemuan yang diawali dengan ditemukannya dua candi terbesar di Jawa yakni Candi Prambanan dan Candi Borobudur.

Sejalan dengan perkembangan dunia pariwisata akhirnya dua candi besar -- Candi Borobudur dan Prambanan -- serta Keraton Ratu Boko oleh pemerintah dijadikan objek wisata andalan DIY dan Jawa Tengah yang pengelolaannya diserahkan kepada pihak swasta yakni PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko. Tetapi, perubahan fungsi ini tidak secara keseluruhan. Umat Hindu khususnya yang berada di DIY dan Jawa Tengah masih memandang Candi Prambanan dan kompleks Keraton Ratu Boko sebagai tempat suci umat Hindu dan juga sebagai peninggalan terpenting umat Hindu di Jawa. Walaupun tidak setiap saat umat Hindu di DIY dan Jawa Tengah dapat melalukan persembahyangan di Candi Prambanan, acara ritual dalam kaitan hari besar agama Hindu rutin setiap tahun diadakan di Candi Prambanan dan Keraton Ratu Boko. Misalnya upacara Tawur Agung atau Marisudha Bumi untuk menyambut hari raya Nyepi.

Biasanya ribuan umat Hindu yang tesebar di DIY dan Jawa Tengah hadir pada upacara di Candi Prambanan dan Keraton Ratu Boko ini untuk melakukan persembahyangan. Pada hari ini biasanya juga pihak pengelola PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko sengaja tidak memungut bayaran tiket tanda masuk, pada hari ini pula Candi Prambanan dan Keraton Ratu Boko sengaja diprioritaskan untuk upacara Marisudha Bumi dan acara-acara kepariwisataan ditiadakan. Biasanya upacara dimulai di Keraton Ratu Boko untuk selanjutnya dikirab menuju Candi Prambanan dan puncak acara Tawur Agung ini dipusatkan di Candi Prambanan.

Candi-candi kecil tersebar di wilayah Yogyakarta. Pergeseran nilai-nilai kepercayaan dan praktik spiritual juga sering dijumpai dalam bentuk semedi atau tirakatan oleh masyarakat Jawa sekarang yang dilakukan di candi-candi kecil. Kebanyakan dari situs-situs atau candi-candi kecil tersebut kondisinya sangat memprihatinkan dan kurang terurus. Terlebih lagi apabila disertai legenda yang berkembang di masyarakat. Mungkin ini yang menyebabkan candi yang sudah cukup tua usianya kelihatan angker dan mistis, sehingga cocok menjadi tempat untuk bersemedi atau bertirakat. Misalnya Candi Abang di Kecamatan Berbah, Piyungan, Yogyakarta. Menurut cerita yang berkembang, tempat ini dihuni makhluk halus bernama Kiai Jagal yang berbadan besar tetapi kerap kali menolong warga.

Ada juga Goa Sentono yang di dalamnya terdapat situs berbentuk lingga dan yoni yang menurut cerita dihuni oleh makhluk halus berwujud wanita cantik. Tempat ini sering kali didatangi orang-orang yang ingin bertirakat untuk mendaptkan pengasihan atau kekayaan. Cerita mistis juga berkembang di sekitar keberadaan situs Payak, sebuah permandian yang dipercaya sebagai tempat mandi Dewa Siwa. Di tempat ini menurut juru kunci di sana, tempat tinggal Dewa Ciwa yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Hal ini pernah terbukti kebenarannya, setelah ada orang sakit keras dan melakukan tirakat di tempat tersebut, setelah beberapa lama orang tersebut sembuh. Cerita-cerita semacam ini banyak sekali dijumpai pada masyarakat di sekitar candi-candi yang tersebar di Yogyakarta.

* Nikolaus Putut

Source : BP